Sunday, January 20, 2008

Tugas Pamungkas

TAHUN BARU 1429 HIJRIAH

“Sebuah Refleksi Makna Masjid”

Oleh: Ridwan Munandar

(Mahasiswa KI-MP/VII A, Fakultas Tarbiyah UIN Syahid Jakarta)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Negeri Indonesia tercinta merupakan negeri di mana mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Agama yang diakui dunia sebagai agama yang penuh dengan praktek ritual untuk penyucian jasmani dan rohani. Masjid sebagai tempat praktek ritual, khususnya shalat, banyak sekali tersebar di setiap sudut kota dan desa. Bangunannya yang sangat khas membedakannya dari bangunan-bangunan yang lain.

Pada awal tahun 2007 M/1428 H, penulis teringat dengan sebuah masjid baru yang mencengangkan masyarakat Jabotabek khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, yang halamannya sangat luas, kubahnya terbuat dari emas, dan dibangun oleh seorang janda kaya dari Depok.

Setiap hari masyarakat sekitar depok berbondong-bondong untuk melihat fesona masjid tersebut. Masjid yang dalam benak penulis seperti masjid di dunia khayalan, persis seperti Istana yang terdapat dalam cerita Aladin, tentang negeri “Seribu Satu Malam”. Dan penulis yakin masyarakat yang baru pertama kali datang dan melihat Masjid Kubah Emas pasti akan terpana dan terpukau dengan kemegahan arsitektur bangunannya.

Terlepas dari itu semua, pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya kita sering menafikan hal-hal non-fisik. Kita lebih tertarik melihat sesuatu dari tampilan fisiknya daripada tampilan non-fisiknya. Sebagai contoh, ketika kita akan memilih seorang pasangan hidup, biasanya hal pertama yang kita lihat adalah aspek non-fisiknya, kita cenderung melupakan aspek non-fisiknya seperti, bagaimana akhlaknya? Baik atau tidak, penyabar atau tidak, ramah aatau tidak, dan sebagainya.

Begitu juga dengan masjid, kita lebih tertarik melihat tampilan luarnya (fisik) tanpa merenungkan nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya seperti, kebersamaan, keikhlasan, kesucian, persamaan harkat dan martabat, dan yang lainnya.

Fenomena tersebut seakan-akan tidak terlalu penting untuk kita renungkan, padahal itu semua merupakan jembatan bagi kita (Umat Islam) untuk menghayati dan merenungkan aktivitas ibadah ritual yang selama ini kita lakukan. Apakah kita telah memahami makna esensial Masjid? Apakah ibadah ritual telah khusyu’ kita lakukan? Apakah ibadah yang kita lakukan hanya sebagai suatu kewajiban? Tanpa adanya kesadaran bahwa itu merupakan sesuatu yang memang kita butuhkan sebagai Syifa (obat) bagi ruhani yang kering dan berlumuran dosa.

Mungkin saat inilah, di tahun baru 1429 Hijriah, kita harus merubah paradigma sempit kita terhadap masjid demi pencapaian tujuan sejati dari praktek ibadah kita. Akhirnya penulis berdo’a, mudah-mudahan segala aktivitas ibadah yang kita lakukan penuh dengan keihklasan dan teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 17 Januari 2008