Friday, November 2, 2007

Syarat - syarat Evaluator dan Perbedaan Evaluator Internal dan Eksternal

  1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertaman yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan praktik.
  2. Cermat, dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya.
  4. Sabar dan Tekun, agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrumen mengumpulkan data dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
  5. Hati-hati dan Bertanggung jawab, yaitu melaksanakan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.

Evaluator Dalam (Internal Evaluator)
adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari evaluator Dalam yaitu:
Kelebihan:

  1. evaluator memahami betul program yang akan dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.
  2. Karena evaluator adalah orang dalam, pengambilan keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.

Kekurangan:

  1. Adanya unsur subjektivitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif.
  2. Karena sudah memahami seluk-beluk program jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehingga kurang cermat.

Evaluator Luar (Eksternal Evaluator)
adalah orang-orang yagn tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada di luar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator Luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team.

kelebihan:

  1. Karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program, maka evaluator luar dapat bertindak secara objetif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil keputusan. Adapun hasil evaluasi tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan llebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan
  2. Seorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibilitas kemampuannya. Dengan begitu evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.

Kekurangan:

  1. Evaluator Luar adalah orang baru, yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dan mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk evaluasi.
  2. Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.

Perbedaan menonjol antara evaluator luar dengan evaluator dalam adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak tahu dan tidak berkepentingan dengan program yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi .

RESENSI BUKU

RESENSI BUKU

- Judul Buku : Penilaian Hasil Proses Beljara Mengajar

- Pengarang : DR. Nana Sudjana

- Penerbit : PT. Remaja RosydaKarya

- Tahun : 2004

- Jumlah Halaman : 168

- Penulis Resensi : Ridwan Munandar

- Isi Buku :

Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas proses danhasil belajar sebagai upaya dari peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui system penilaian. Dalam penilaian proses belajar mengajar siswa di Sekolah, aspek-aspek yang berkenaan dengan pemilihan alat penilaian, penyusunan soal, pengolahan, dan interpretasi data hasil penilaian, analisis butir soal, untuk memperoleh kualitas soal yang memadai, serta memanfaatkan data hasil penilaian sangat berpengaruh terhadap kualitas lulusan. Oleh karena itu, Kemampuan para guru dan calon guru dalam aspek-aspek tersebut mutlak diperlukan.

Apakah sisiwa telah mencapai hasil/prestasi belajar yang diharapkan, yaitu sesuai dengan tujuan pengajaran? Apakah nilai yang diperoleh sisiwa itu benar-benar objektif dan representative? Apakah proses belajar-mengajar sudah cukup efisien danproduktif? Jika belum, apa saja yang masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan?

Semua pertanyaan itu –dab tentunya masih banyak pertanyaan lain yanglebih spesifik- hanya akan dapat terjawab jika dilaksanakan system penilaian yang tepat.

Dalam buku ini, dibahas aspek-aspek dan perttanyaan-pertanyaan tersebut di atas dengan maksud menambah literature bahasn bacaan bagi para guru dan calon guru yang berkeinginan memperluas wawasan dan keterampilan dalam bidang penilaian, khususnya dalam menilai proses dan hasil/prestasi belajar siswa di sekolah.

Gaya buku tersebut: menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, mudah dipahami oleh pembaca, sifat bahasa yang dinamis dan terus berkembang.
Bentuk Fisik Buku tersebut: dibuat dengan kertas yang bagus, tulisannya rapi dan mudah dibaca, cover buku tersebut memiliki warna dasar merah, hitam dan biru pada tulisan judul buku berwarna putih.

Pendapat mengenai buku tersebut: tulisannya rapi dan mudah dipahami, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terbuat dari kertas yang bagus, banyak diminati oleh mahasiswa dan dosen.

Friday, September 28, 2007

Jenis-jenis Validitas

VALIDITAS

Jika kita membandingkan sejumlah buku metode penelitian, maka Anda pasti tidak akan menemukan “kesepakatan” di antara para penulis buku tersebut terutama dalam dalam jumlah/ragam jenis validitas dan pengelompokkannya. Saya sudah melakukan content analysis kecil-kecilan terhadap sejumlah buku metode penelitian baik di bidang sosial maupun pemasaran, hasilnya saya menemukan ada 4 jenis validitas yang sering disebutkan yaitu : Face Validity, Content Validity, Criterion Validity, dan Construct Validity. Sebaiknya Anda tetap menyebutkan jenis-jenis validitas ini dalam “bahasa londo”-nya karena di antara para penulis buku-buku metode penelitian sepertinya belum ada kesepakatan penerjemahan. Jenis validitas yang paling beragam terjemahannya adalah Face Validity. Terjemahan yang digunakan terhadap Face Validity di antaranya : validitas rupa, validitas muka, validitas paras, dan validitas permukaan (saya pribadi setuju yang ini…). Yang rada ngaco adalah terjemahan Content Validity, manakala sebagian besar buku menerjemahkannya sebagai validitas isi, eh ada buku yang menerjemahkannya dengan validitas kandungan (validitas ibu-ibu hamil kalee …). Sepertinya memang sudah saatnya ada suatu standar baku dalam menerjemahkan istilah-istilah di dunia metode penelitian (ada yang berminat mempeloporinya?…)

Oke, lalu apa sebenarnya validitas? Judul tulisan ini adalah defenisi validitas yang paling sederhana, benar-benar benar! Dengan kata lain suatu instrumen penelitian dikatakan valid jika mampu menghasilkan data yang benar-benar benar. Data yang benar-benar benar dihasilkan oleh instrumen yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Contoh dalam kehidupan sehari-hari, timbangan beras valid untuk menimbang sekarung beras tapi tidak valid menimbang sehelai surat, termometer tubuh valid untuk mengukur suhu tubuh tapi tidak valid mengukur suhu air mendidih, jika dipaksakan dijamin ancur tuh termometer (sure deh, percaya deh, saya pernah membuktikannya waktu kecil, alhasil uang jajan saya dipotong oleh ibu saya untuk mengganti termoternya yang pecah). Contoh yang lebih relevan dengan dunia penelitian, apakah cukup dengan hanya menanyakan pengeluaran rutin perbulan maka kita sudah mengukur status sosial dan ekonomi seseorang? Ukuran pengeluaran rutin perbulan tidak valid dalam mengukur status sosial dan ekonomi seseorang, alat ukur tersebut hanya mengukur status ekonomi!

Validitas terdiri dari beberapa jenis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ke empat jenis validitas tersebut masih bisa dikelompokkan menjadi validitas konsensus dan validitas komparasi. Termasuk dalam validitas konsensus adalah face validity dan content validity. Pengertian konsensus disini adalah kesepekatan para ahli/pakar dibidangnya bahwa suatu ukuran/instrumen memang benar atau tepat adanya mengukur suatu fenomena/gejala. Misalnya untuk menentukan dominasi suatu produk atau perusahaan di pasar tertentu maka kita bisa mengukurnya dengan menghitung market share (pangsa pasar) dari produk atau perusahaan tersebut baik secara unit maupun sales. Semua ahli marketing pasti menyarankan alat ukur ini jika Anda ingin mengetahui dominasi produk atau perusahaan Anda dalam pasar tertentu. Validitas konsensus ini merupakan validitas yang “cetek”, alias paling sederhana, cenderung subjektif, sehingga kurang menantang gitu loh. Tidak diperlukan perhitungan matematis untuk meloloskan suatu alat ukur dari saringan validitas ini. Perbedaan antara face dengan content validity hanyalah pada jumlah dimensi konsep yang diukur. Jika suatu konsep cukup diukur dengan satu atau dua variabel maka loloslah dia dari saringan face validity, misalnya konsep market share. Namun jika suatu konsep melibatkan banyak dimensi maka dia harus menjalani saringan content validity. Misalnya pengukuran status sosial dan ekonomi yang dilakukan oleh AC Nielsen di Indonesia, karena hanya melibatkan satu dimensi saja (pengeluaran rutin perbulan) jelas tidak lolos dari saringan content validity! Alat ukur AC Nielsen tidak valid untuk mengukur konsep status sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia!

Jika gerombolan yang tergabung dalam validitas konsensus berfokus pada dirinya sendiri, sudah memang begitu adanya, karena pakar said so, tidak demikian adanya dengan validitas yang tergabung dalam komplotan validitas komparasi. Para member gank validitas komparasi ini justru lolos uji validitas jika dia menakar diri, alias membandingkan diri. Anggota pertama gank komparasi adalah criterion validity. Criterion validity diperoleh dengan membandingkan instrumen dan hasil pengukurannya. Criterion validity punya dua “downline” yaitu concurrent validity dan predictive validity.

Suatu instrumen dikatakan lolos dari saringan concurrent validity jika instrumen tersebut menghasilkan ukuran yang relatif sama dengan instrumen lain yang telah lebih dahulu dikenal valid. Jadi ada faktor senioritas di sini :-)…Contohnya tes TOEFL, digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang berbahasa Inggris. Suatu waktu Anda misalnya iseng-iseng membuat instrumen baru dalam mengukur kemampuan seseorang berbahasa Inggris, sebut saja namanya tes TUPEL. Seandainya seseorang mendapat skor yang tinggi pada tes TOEFL maka dia juga seharusnya mendapat skor yang tinggi pada tes TUPEL. Jika demikian yang terjadi maka instrumen baru Anda tersebut valid secara concurrent.

Selanjutnya, suatu instrumen lolos dari saringan predictive validity jika instrumen tersebut punya kemampuan layaknya seorang cenayang, alias mampu meramal konsep pada waktu tertentu di masa depan berdasarkan pengukuran di masa sekarang. Misalnya tes potensi akademik (TPA) yang dibuat oleh suatu perguruan tinggi untuk menyeleksi calon mahasiswa yang hendak melanjutkan kuliah pada program pasca sarjana. Diharapkan setiap calon mahasiswa yang lolos TPA berpeluang besar mampu mengikuti dan menyelesaikan kuliah dengan baik. Jika ternyata kenyataanya seluruh atau sebagian besar mahasiswa yang dulunya dinyatakan lolos TPA bisa mengikuti dan meyelesaikan kuliah dengan baik maka TPA tersebut valid secara predictive.

Anggota kedua dari gank komparasi adalah construct validity, seperti halnya criterion validity dia juga punya dua “downline” yaitu convergent validity dan discriminant validity. Jika pada criterion validity instrumen head to head dengan dengan hasil pengukurannya, maka pada construct validity instrumen head to head dengan instrumen.

Convergent validity akan meloloskan instrumen dari saringannya jika instrument tersebut menghasilkan hubungan erat antara dua atau lebih konsep yang memang secara teori ditakdirkan harus berhubungan! Misalnya salah satu proposisi dalam teori perilaku konsumen menyatakan bahwa makin tinggi kepuasan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa makin tinggi juga loyalitas pelanggan terhadap produk atau jasa tersebut. Kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan adalah dua konsep yang berbeda, jika instrumen untuk mengukur kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan dikorelasikan dan ternyata hasilnya berkorelasi secara signifikan, maka instrumen tersebut valid secara convergent.

Terakhir adalah discriminant validity, jika pada validitas convergent instrumen kudu musti menghasilkan hubungan yang erat, sebaliknya pada validitas discriminant justru konsep yang diukur tidak boleh berhubungan alias harus berbeda secara signifikan, tapi perbedaan ini tetap didasarkan pada teori. Misalnya konsep kepemimpinan demokratis dan kepemimpinan otoriter dalam organisasi, secara teori kedua gaya kepemimpinan ini berbeda satu sama lain. Jika seorang peneliti menyusun suatu instrumen untuk mengukur kedua konsep tersebut kemudian setelah diuji secara statistik (dengan t-test misalnya) ternyata nilai variabel-variabel dari masing-masing konsep tidak berbeda secara signifikan maka instrument tersebut tidak valid secara discriminant.

Perlu dicatat bahwa uji validitas yang dipaparkan di atas belum menjamin kualitas hasil dari suatu penelitian. Karena ada faktor lain yang juga dapat mengacau-balaukan hasil riset yaitu faktor non sampling error, “the silent killer”. Di lain waktu saya akan membahasnya…

Friday, September 21, 2007

Format Raport

Nama Sekolah : SMP Negeri 75 Kelas : VII (satu)

Alamat : Jl. Perjuangan 45 Semester : I (satu)

Nama Siswa : Risyad Syahrial Tahun pelajaran : 2006/2007

Nomor Induk : 10541

No.

Mata Pelajaran

Aspek Penilaian

KKM

Nilai

Catatan Guru

Angka

Huruf

1

Pendidikan Agama

Penguasaan Konsep dan Nilai-nilai

70

75

Tujuh puluh lima


Penerapan


70

Tujuh puluh

2

Pendidikan kewarganegaraan

Penguasaan Konsep dan Nilai-nilai

72

80

Delapan puluh


Penerapan


77

Tujuh puluh tujuh

3

Bahasa Indonesia

Mendengarkan

65

85

Delapan puluh lima


Berbicara


77

Tujuh puluh tujuh

Membaca


75

Tujuh puluh lima

Menulis


85

Delapan puluh lima

4

Bahasa Inggris

Mendengarkan

60

65

Enam puluh lima


Berbicara


70

Tujuh puluh

Membaca


71

Tujuh puluh satu

Menulis


65

Enam puluh lima

5

Matematika

Pemahaman Konsep

61

65

Enam puluh lima


Penalaran dan Komunikasi


60

Enam puluh

Pemecahan Masalah


62

Enam puluh dua

6

Ilmu Pengetahuan Alam

Pemahaman dan Penerapan Konsep

62

77

Tujuh puluh tujuh


Kinerja ilmiah


75

Tujuh puluh lima

7

Ilmu Pengetahuan Sosial

Pemahaman Konsep

65

70

Tujuh puluh


Penerapan


83

Delapan puluh tiga

8

Seni Budaya

Apresiasi


73

Tujuh puluh tiga


Kreasi


77

Tujuh puluh tujuh

9

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan kesehatan

Permainan dan Olahraga


85

Delapan puluh lima


Aktivitas Pengembangan


80

Delapan puluh

Uji diri /Senam


80

Delapan puluh

Aktivitas Ritmik


80

Delapan puluh

Akuatik/Pendidikan Luar kelas*)


75

Tujuh puluh lima

10

Pilihan :**)

a. Keterampilan

Kreasi Produk Kerajinan


65

Enam puluh lima


Kreasi Produk Teknologi




b. Teknologi dan Informasi dan Komunikasi

Etika Pemanfaatan

70

72

Tujuh puluh dua


Pengolahan dan Pemanfaatan Informasi


65

Enam puluh lima

Penugasan Proyek


80

Delapan puluh

11

Mulok***)

a. PLKJ

Penguasaan Konsep

75

80

Delapan puluh


Penerapan


70

Tujuh puluh

b. Tata busana

Penguasaan Konsep

65

73

Tujuh puluh tiga


Penerapan


65

Enam puluh lima

Kegiatan

Jenis

Nilai

Keterangan

Pengembangan Diri

1.



2.



3.



PERILAKU

...............................................................................................................................................................................................Tingkatkan Prestasimu dengan banyak membaca, berdoa, dan berperilaku yang baik ......................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

Ketidakhadiran (%)

Kehadiran

1. Sakit

........................hari

3 %

97 %

2. Izin

............2......... hari.

3. Tanpa Keterangan

............1..........hari

Diberikan : Jakarta.

Mengetahui, Tanggal : 28 Desember 2006

Orang Tua/wali Wali Kelas







`

NIP :

Tuesday, September 18, 2007

KAIDAH AGAMIS TENTANG PENILAIAN

Disusun Oleh:

Ridwan Munandar

(Mahasiswa KI-MP Semester VII A)

Proses penilaian merupakan suatu proses sistematik, dalam arti berkelanjutan, terencana, dan memiliki tujuan/sasaran yang jelas. Adapun tujuannya adalah mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program.

Dengan evaluasi/penilaian, guru dapat mengetahui seberapa tinggi tingkat kompetensi atau kemampuan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran.

Dalam Agama Islam, sebenarnya terdapat beberapa kaidah/prinsip penilaian yang sangat berguna bagi tercapainya tujuan penilaian tersebut, seperti kaidah keadilan, kejujuran, tanggung jawab, konsistensi/istiqomah, sabar, tawakal, dan lain-lain.

Selanjutnya di bawah ini penulis akan menjelaskan beberapa kaidah/prinsip agamis mengenai penilaian dalam Al-Qur’an dan Hadits

· Kaidah adil

Dalam Al-Qur’an (Surat An-Nisa : 58) Allah SWT. Berfirman:

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah mMaha Mendengar Lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa:58)

Dari ayat di atas secara tersurat dapat kita pahami bahwa bagi siapa saja yang mempunyai tugas untuk menyampaikan amanat dan menetapkan hukum kepada seseorang maka haruslah menetapkan dengan adil. Kemudian apabila dikorelasikan dengan penilaiaan, maka disini Tester (guru, instruktur, penguji) atau seseorang yang memiliki kelayakan memfasilitasi siswa dengan keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang relevan, yang memiliki kompetensi untuk menyampaikan amanat, dan menetapkan penilaian dengan “prinsip keadilan”, artinya ketika seorang tester melihat keberhasilan siswa, bukan dari individu siswa yang mengikuti pembelajaran itu sendiri, melainkan berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pembelajaran, manakala ia mampu memenuhi kriteria yang telah ditetapkan bersama.

· Kaidah jujur

Berusahalah untuk selalu jujur dalam perkataan dan perbuatan anda. Sebab shidq atau kejujuran merupakan jalan surga, sebagaimana sifat dusta akan menuntun pelakunya menuju neraka. Rasulullah SAW. bersabda:

Diterima dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda : “sesungguhnya shidq –jujur- itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga. Jika seseorang selalu jujur, maka ia akan dicatat sebagai seorang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan kedurhakan membawa ke neraka. Jika seseorang selalu berdusta, maka ia akan dicatat sebagai pendusta.”

Bagaimanapun dusta bukanlah akhlak seorang muslim untuk selamanya, sebab sifat dusta bertentangan secara diametral dengan keimanan. Begitu sifat dusta melekat, maka lepaslah keimanan seseorang. Sifat dusta merupakan sifat orang munafik.

Diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda: “tanda orang munafik itu ada tiga, (1) jika berbicara suka dusta, (2) jika berjanji mengingkari, (3) jika diamanati suka khianat.” Menurut suatu riwayat “tanda orang munafik itu tiga –meskipun ia melakukan shaum, melakuan shalat, dan mengaku ia sebagai muslim- jika bicara selalu dusta, jika berjanji suka mengingkari, dan jika diamanati suka khianat.”

Alhasil, dusta hanyalah pantas menjadi sifat orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah SWT. Dalam kaitan dengan hal tersebut Allah berfirman:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأُوْلـئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“sesungguhnya yang (berani) berbuat dusta itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka adalah orang-orang yang pendusta.” (QS. Al-Nahl:105)

Dalam hadis dan ayat tersebut di atas, maka jelaslah bahwa jujur itu merupakan jalan bagi orang-orang yang menginginkan surga, dan dusta itu merupakan perbuatan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan merupakan jalan menuju neraka. Oleh karena itu, sifat jujur itu dalam kaitannya dengan penilaian, baik bagi guru maupun siswa harus merupakan suatu hal yang niscaya ada dalam setiap perkataan dan perbuatan. Sehingga kemudian dalam praksisnya guru menjadi percaya kepada siswa untuk mengerjakan soal/tugas secara jujur dan siswa pun sebaliknya percaya kepada guru atas penilaian yang diberikannya secara objektif. Artinya di antar guru dan murid terjalinnya hubungan saling percaya yang dimulai dari sifat jujur tersebut.

· Kaidah tanggung jawab

Dalam Al-Qur’an (Surat Al-A’raf:164) Allah SWT berfirman:

وَإِذَ قَالَتْ أُمَّةٌ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْماً اللّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَاباً شَدِيداً قَالُواْ مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“ Dan (ingatlah) ketika suatu kaum di antara mereka berkata: “mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? “ mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alas an (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-A’raf:164)

Dari ayat di atas dapat kita lihat bahwa tugas untuk menasehati/memberi pelajaran bagi sebagian orang yang memilki kompetensi dalam hal tersebut (guru, penceramah, intruktur) tidak melihat seberapa burukkah perilaku mereka. Sehingga Allah SWT. Misalkan saja akan membinasakan atau mengazab mereka. Tugas mereka hanya menasehati atau memberi pelajaran saja, karena itu adalah bentuk pelepas tanggung jawab mereka kepada Allah.


Pada ayat yang lain disebutkan bahwa :

“……..kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul sedikitpun teryhadap perbuatanmu…..”(QS. Ali Imran: 52)

Menurut kedua ayat tersebut, maka dapat kita pahami bahwa Allah SWT. Tidak menilai seseorang -yang mempunyai tugas- untuk menasehati atau memberi pengajaran dari hasil akhirnya. Dalam arti setiap perilaku/sikap bagaimanapun yang ditunjukkan oleh orang yang telah dinasehati, yang telah diberi pengajaran, Allah tidak menilainya sebagai kesalahan tester. Akan tetapi Allah menilai dari proses yang dilakukan oleh tester dalam memberikan pembelajarannya. Karena apapun yang mereka lakukan setelah dating nasehat maka itu adalah tanggung jawab individu itu sendiri.

· Kaidah konsisten/istiqomah

Allah SWT. Berfirman dalam Surat Yunus; 89

قَالَ قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلاَ تَتَّبِعَآنِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

“sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah (istiqomahlah) kamu berdua pada jalan yang lurus dan jangan sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yangtidak mengetahui.” (QS. Yunus: 89).

Pada ayat yang lain Allah berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Mha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 112).

Dari kedua ayat tersebut di atas, Allah SWT. Memerintahkan kepada kita untuk konsosten/istiqomah di jalan yang lurus, dijalan yang benar dan janganlah kita menjadi orang-orang yang melampaui batas. Sehingga apapun yang kita inginkan dan permohonkan, Insya Allah akan dikabulkan-Nya. Namun jangan sekali-kali mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui, karena bisa membuat kita tersesat.

Oleh karena itu, korelasinya dengan penilaian yang dilakukan guru adalah bahwa guru harus istiqomah dalam menjalankan tugasnya, baik dalam pembelajaran maupun kegiatan lainnya. Misalnya penilaian. Dalam arti guru harus istiqomah memberikan nilai kepada peserta didik tanpa adanya keraguan untuk memberikan penilaian seperti manipulasi data, unsure subjektivitas, dll. Dengan istiqomah, didasari atas data yang baik, hasil analisa kompetensi siswa sesuai dengan tingkat dan standar kualitas yang disepakati sebelumnya, juga musyawarah berdasarkan objektivitas penilaian siswa yang diperoleh selama belajar. Maka diantara guru dan siswa akan terciptanya hubungan yang harmonis, bebas dari prasangka, dan adanya sikap saling pecaya.


Selain kedua ayat tersebut yang menjelaskan tentang konsistensi/istiqomah, sebenarnya masih banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal itu, seperti (QS. 41 : 6), (QS. 42 : 15), (QS. 45 : 18), dan (QS. 46: 13).

Demikianlah penjelasan yang dapat penulis berikan mengenai “kaidah agamis tentang penilaian”. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis khususnya, juga bagi para pembaca umumnya

Terima Kasih……$