Sunday, April 12, 2009

सबूः harapan

Aku berjalan dengan tegar, hari demi hari. Kadang hati dan pikiran ini merasa bimbang atas apa yang yang telah terlewati…hidup memang tidak selalu tenang seperti air danau. Hidup kadang beriak seperti gelombang laut, mengalir seperti air sungai. Suatu keniscayaan yang harus kita hadapi. Perasaan takut, sedih, kecewa, juga senang, bahagia, dan tertawa datang silih berganti.

Fenomena seperti itu tidak hanya aku yang mengalaminya, kamu, dia, dan mereka pun tak lepas dari itu semua. Apa sebenarnya yang menjadikan seseorang untuk tetap eksis dalam mengadapi itu semua? Mungkin jawabannya adalah sebuah harapan, harapan untuk menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Iya, memang harus seperti itu. Kalau tidak demikian adanya, siap-siap lah kita ketinggalan, tergerus perubahan zaman, dan menjadi manusia marginal.

Sebuah harapan lah yang menjadikan kita tetap optimis mengarungi samudra kehidupan ini, untuk itulah kita sebagai nakhoda harus memiliki bahtera yang kuat dan baik, juga strategi dan kualifikasi yang mumpuni dalam menjalankan bahtera. Sehingga segala badai dan angin topan yang menghadang dapat kita lalui dengan baik. Tidak sedikit bahtera yang karam karena korban badai dan angin topan tersebut, mungkin problematikanya adalah bahtera mereka tidak terlaluu kuat dan tangguh atau mungkin kurangnya strategi dan kualifikasi nakhodanya. Namun, yang harus kita tananmkan di relung hati yang paling dalam adalah kesadaran untuk tetap optimis bangkit kembali dari keterpurukan. Sehingga sebuah harapan dan secercah cahaya bisa menerangi jalan hidup kita selanjutnya.

Ingat kawan ! kita tak sendirian, masih ada keluarga, teman, bahkan Tuhan YME yang menolong nakhoda yang diliputi kabut ketakutan dan kabut kesedihan. Mereka tidak akan tingggal diam. Kita harus yakini itu. Mereka sayang kepada kita, mereka tahu apa yang kita perlukan, dan mereka selalu menemani kemana kita pergi.

Dan akhirnya, sebuah harapan itu pun akan menjadi kenyataan yang manis, penawar rasa pahit yang kadang kita rasakan. Tak heran ada adagium "habis gelap terbitlah terang". Tak sia-sia Allah SWT berfirman: "sesudah kesulitan ada kemudahan".

Ciputat, 22 Maret 2009

Created by:

Nandar Van Buitenzorg

(e_yambad@yahoo.co.id)

Saturday, April 11, 2009

വിസ് udah

WIS, UDAH

T

ahun ini, genap 10 semester aku berada di kampus UIN Syahid Jakarta, nggak ada kuliah, nggak ada pendalaman mata kuliah, dan nggak ada canda tawa bersama teman-teman seperti semester-semester awal. Semester ini aku udah sibuk dengan urusan skripsi, sebagian temen-temen juga lagi sibuk dengan skripsi, malah ada beberapa orang yang sudah memakai toga dan tentunya sudah ada gelar dibelakang namanya. Amy maniz, Shofa, Astri, dan Mulya ialah para pelopor di kelas MP A yang mendapat predikat sarjana pendidikan (S.Pd); Eva, Widya, Tati, Ema, dan Sumardi kemudian menyusul untuk mendapakan predikat tersebut.

Tak terasa sudah 5 tahun aku berada di kampus biru pembaharu, waktu begitu cepat berlalu. Kebersamaan dengan teman-teman kelas tak mungkin bisa aku lupakan. Berdiskusi masalah mata kuliah, presentasi makalah, bercanda, saling mengejek, jalan-jalan, makan-makan, bahkan kadang-kadang marah-marahan dan saling cemburu mewarnai rutinitas kami yang tak ternilai harganya.

Kini, aku dan temen-temen harus siap mengarungi samudra kehidupan, kehidupan sebenarnya yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Kami semua harus memikirkan masa depan agar apa yang kami cita-cita kan tercapai. Masih banyak "PR" atau pekerjaan rumah yang harus kami kerjakan untuk pencapaian tujuan kami tersebut. Semoga kita semua dapat menjalani itu semua. Amien.

Kawan,,,! Kita harus jaga tali silaturrahmi ini sampai kapanpun walaupun raga sudah jarang bertemu, waktu terus menyibukkan kita. Aku juga mohon do'a kalian semua, insya Allah bulan Juli nanti aku akan menyusul temen-temen yang lain untuk di wisuda. Mudah-mudahan semuanya lancar, tak ada masalah yang berarti, dan semoga ilmu yang aku peroleh berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Amien.

Tak lupa aku pun berdo'a untuk kalian semua. Khususnya bagi kalian yang belum siap untuk menyamatkan gelar dibelakang nama kalian, semoga Allah SWT memberi kemudahan dalam menyelesaikan keresahan dan ketakutan yang ada di dalam hati kalian. Karena aku yakin permasalahan yang sebenarnya bukan karena kalian tidak mampu untuk menyelesaikannya tapi karena ada suatu ketidakpastian yang kalian takutkan.

Kawan…! Kita tak sendirian, kita masih punya Tuhan YME, Dia telah menyiapkan jalan hidup yang baik bagi kita, Dia akan memberikan apa yang kita perlukan, oleh karena itu, Don't be afraid, don't be sad. Ayo bersemangat ! cayooo…

Ciputat, 11 April 2009

Temanmu,

Nandar VanBuitenzorg

Friday, March 20, 2009

Selasa, 17 Maret 2009

“LAKUKAN DAN NIKMATILAH”

Aku meminta pada Tuhan setangkai bunga segar,

Ia beri aku kaktus berduri.

Aku meminta pada Tuhan binatang mungil nan cantik,

Ia beri aku ulat berbulu.

Aku sempat sedih, protes, dan kecewa. Betapa tidak adilnya ini.

Namun, kemudian kaktus itu berbunga, sangat indah sekali. Ulat itu pun tumbuh dan berubah bentuk menjadi kupu-kupu yang teramat cantik.

Itulah jalan Tuhan, indah pada waktunya. Tuhan tidak memberi apa yang kita harapkan, tetapi Ia memberi apa yang kita perlukan.

Kadang kita sedih, kecewa, dan terluka. Namun, jauh di atas segalanya, ia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan Anda, kita, dan mereka.

Nandar Van Buitenzorg

(e_yambad@yahoo.co.id)

Friday, March 13, 2009

Don'T be afraid…!

Ayo Maju…Maju 2x !

"Sesudah Kesulitan itu ada kemudahan"

Peranan Pendidikan Dalam Pembentukan

Budaya Politik di Indonesia

A. PENDAHULUAN

Dalam makalah ini pertanyaan pokok yang ingin penulis bahas ialah adakah hubungan antara Pendidikan dengan politik, khususnya budaya politik.

Menurut pengamatan penulis, bagi sebagian besar dari masyarakat kita –di luar kelompok akademisi yang kecil- pendidikan dan politik adalah dua hal yang berbeda dan terpisah, dan antara keduanya tidak ada hubungan apapun. “pendidikan ya pendidikan, politik ya politik. Jangan dicampuradukkan. Mempolitikkan pendidikan adalah suatu hal yang tercela”. Ini adalah pendapat yang sering saya dengar, sejak dahulu hingga sekarang.

Pandangan masyarakat ini tercermin dengan jelas pada sikap para pelaku politik (politikus) kita terhadap masalah-masalah ekonomi, politik, dan pendidikan. Sekarang ini yang menjadi pusat perhatian para politikus kita adalah masalah ekonomi dan politik. Kedua masalah ini disoroti secara eklusif, tanpa mempertimbangkan adanya kemungkinan bahwa dalam jangka panjang, masalah ekonomi dan politik ada hubungannya dengan masalah pendidikan. Sekarang ini masalah pendidikan terasa “dimarginalisasikan”, digeser ke pinggir, dalam alam pikiran para politikus kita. Masalah pendidikan mereka pandang masalah yang relatif tidak penting. Pendidikan adalah suatu “non-issue”, suatu hal yang mudah, yang dapat ditangani oleh siapa saja.

kalau posisi Menteri Dalam Negeri, Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Luar Negeri selalu diperebutkan dengan sengit oleh partai-partai politik kita, maka posisi Menteri Pendidikan selalu dipandang sebagai suatu “hadiah penghibur” –sebagai troostprijs kata orang Belanda- bagi partai politik yang kalah dalam perebutan pos-pos penting tadi. “silahkan saja ambil”. Begitu agaknya pikiran yang terdapat dalam benak para pimpinan partai politik kita.

Ada satu hal ysng dilupakan para politikus kita dalam hal ini. Yaitu bahwa kondisi kehidupan pendidikan pada waktu sekarang akan mempengaruhi kondisi kehidupan ekonomi dan politik di masa depan. Kalau kita sekarang membiarkan kondisi pendidikan yang menyedihkan ini terus berlangsung, maka dapat diprediksikan bahwa kehidupan ekonomi dan politik kita 15 tahun yang akan datang juga akan menyedihkan. Kelalaian untuk melakukan investasi pendidikan pada waktu sekarang akan harus kita tebus dengan harga yang mahal di masa depan. Para politikus kita tidak menyadari bahwa pendidikan selalu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan. Pendidikan memang tidak dapat berbuat apa-apa untuk sekarang juga memperbaiki keadaan ekonomi dan politik kita, tetapi pendidikan dapat berbuat banyak untuk turut membentuk kehidupan ekonomi dan politik yang lebih baik di masa depan. Maka sejak sekarang sudah harus mulai kita lakukan langkah-langkah persiapan. Pemikir dan pelaku yang baik di bidang ekonomi dan politik tidak muncul secara mendadak, tidak dapat “dikarbit”. Mereka harus dibina secara sistematis selama kurun waktu yang tidak dapat dikatakan pendek.

B. SEBUAH FENOMENA SEJARAH

Ada sebuah fenomena historis yang saya kira cukup memperlihatkan kepada kita, bahwa antara pendidikan dan politik, khususnya budaya politik, terdapat hubungan yang bersifat kausal-tak langsung.

Periode antara tahun 1908 sampai 1945 ditandai oleh kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka untuk membuat Indonesia menjadi negara merdeka. Dengan segenap kekurangan mereka, para pemimpin politik kita para periode ini adalah “tokoh-tokoh teladan”, tokoh-tokoh yang keberanian dan kegigihannya dapat kita pandang sebagai suatu model yang perlu ditiru. Sebaliknya, dalam periode 1959 dan 1998 kita saksikan bersama kehadiran pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang belum atau tidak memiliki idealisme yang cukup nasionalistik dan patriotik, atau kalau memilikinya, mereka tidak mamu menyatakannya dalam bentuk perilaku politik yang pantas dijadikan teladan.

Generasi politik dari periode 1959-1998 kelihatan lebih mengutamakan kepentingan kelompok sendiri daripada kepentingan bangsa. Terasa sekali bahwa selama periode ini segenap aspek kehidupan dikuasai/didominasi oleh elit politik yang berkuasa. Ini terlihat dari kesewenang-wenangan yang terjadi dimana-mana, yang dilakukan oleh kelompok penguasa, baik dari kalangan sipil maupun militer, tanpa ada satu kekuatan politik pun yang berani menegurnya dan berusaha memperbaikinya. Mereka yang berada di luar sistem kekuasaan tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi, diantara mereka yang ada dalam sistem kekuasaan tidak ada satu kelompok pun yang tampak terusik hati nuraninya oleh segenap kesewenang-wenangan yang terjadi dalam masyarakat. Di tengah-tengah segenap kelaliman, kita hanya bisa menggerutu. Dan kita tahu bahwa menggerutu bukan suatu perlawanan politik. Menggerutu adalah suatu bentuk kapitulasi politik. Kita menyerah, merasa tidak berdaya ketika rasa keadilan kita diinjak-injak dan diperkosa.

Mengapa timbul perbedaan kontras yang begitu tajam dalam kurun waktu 90 tahun (1908-1998)? Mengapa perilaku dan budaya politik kita merosot begitu tajam? Ke mana perginya kekuatan kultural bangsa yang talah melahirkan pejuang-pejuang politik dalam periode 1908-1998?

Ada tiga generalisasi yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan kontras yang tajam ini.

Pertama, perbedaan dalam perilaku politik ini disebabkan oleh perbedaan dalam mutu pendidikan dasar yang mereka terima sebelum mereka memasuki dunia politik. Generasi yang melahirkan Dr. Sutomo dan teman-temannya sampai ke Bung Karno, Bung Hatta dan teman-temannya mendapat pendidikan dasar yang sangat kuat sebelum mereka datang ke dunia politik. Pendidikan dasar yang sangat kuat ini, yang melahirkan kemampuan dan semangat intelektual yang tinggi, merupakan bekal yang lengkap dan memadai, landasan yang kokoh untuk mengarungi kehidupan politik di kemudian hari.

Sebaliknya, kehidupan politik yang mengatur kehidupan bangsa selama periode Generasi Terpimpin dan Generasi Orde Baru tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai menurun. Ekspansi sistem pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu itu, tanpa kita ketahui dan kita kehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-sekolah kita. Kemerosotan ini terjadi, karena elit pendidikan yang sangat kecil yang kita miliki pada waktu itu, harus “direntang” panjang-panjang untuk memungkinkan ekspansi sistem yang cepat tadi.

Kedua, perbedaan ini disebabkan oleh karena pada era sebelum kemerdekaan dunia politik dihuni oleh “the educated minority”, yaitu kelompok minoritas anggota masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi, sedangkan dalam era pasca-kemerdekaan dunia politik dikuasai oleh golongan penduduk yang relatif kurang terdidik, tetapi mampu menggalang dukungan dari masyarakat. Hal ini terjadi, karena dalam era pasca-kemerdekaan golongan “the educated minority” tadi lebih tertarik untuk mengisi kekosongan yang terdapat dalam birokrasi atau memasuki dunia usaha daripada terjun ke dunia politik. Maka, terjadilah perubahan dalam “jenis populasi” yang menghuni dunia politik.

Kecuali di negara-negara yang sedang berkembang, pada umumnya masyarakat bersikap “anti intelektualisme” setelah beberapa tahun memasuki zaman merdeka. Dan Indonesia tidak merupakan pengecualian dalam hal ini. Menurut Edward Shils dan Sermour Martin Lipset, kepemimpinan oleh kaum intelektual di negara-negara yang baru merdeka pada umumnya berakhir setelah generasi perintis kemerdekaan digantikan oleh generasi penerus yang tidak mengalami perjuangan merebut kemerdekaan. Ini berarti, bahwa masyarakat pasca-kemerdekaan menolak kehadiran kaum intelektual sebagai suatu kelas yang mendominasi kehidupan politik.

Ketiga, adanya perbedaan dalam Zeitgeist, perbedaan dalam “semangat zaman”, antara era sebelum kemerdekaan dengan era pasca-kemerdekaan. Semangat zaman yang terdapat dalam periode 1908-1945 sangat berbeda dengan semangat zaman yang hidup dalam masyarakat kita dalam periode 1959-1998, dalam periode 1908-1945 “semangat melawan dan membebaskan” tumbuh dengan kuat, sedangkan dalam periode 1959-1998 semangat melawan dan membebaskan ini diperlemah secara sistematis, dan akhirnya menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman yang ada selama masa Orde Baru semangat “mengabdi penguasa”.

Dari ketiga generalisasi di atas, terlihat jelas bahwa pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat inter-generasional dalam budaya politik. Tetapi, ketiga generalisasi ini juga tidak menyanggah tesis mengenai pentingnya peranan pendidikan dalam pembinaan budaya politik. Dan kalau kita melihat ke depan, maka akan kita rasakan bahwa kehadiran suatu generasi baru dalam kehidupan politik merupakan suatu hal yang didambakan oleh sebagian besar masyarakat kita. Masyarakat mendambakan satu generasi baru dalam kehidupan politik kita, generasi yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab dalam segenap tindak-tanduknya. Dapatkah generasi muncul tanpa intervensi-intervensi yang akan melahirkan pendidikan yang bermutu? Saya kira tidak.

Perlu kita tanyakan dalam hubungan ini, mengapa dapat timbul sikap politik yang berbeda pada satu generasi yang sama-sama mendapatkan pendidikan yang kurang bermutu. Faktor-faktor apa yang mendorong munculnya “generasi baru” yang mempelopori gerakan reformasi kita dalam tahun 1998.

Dugaan penulis ialah bahwa hal ini disebabkan oleh jenis suasana masyarakat yang terdapat ketika suatu generasi memasuki masa adolosensi, ketika mereka menjadi gelisah, menjadi kritis. Para mahasiswa pendobrak Orde Baru dan pelopor Gerakan Reformasi 1998 ini menurut penulis berumur antara 20-28 tahun pada tahun 1998, yaitu pada permulaan gerakan reformasi. Jadi mereka dilahirkan pada tahun antara 1970-1978. kalau rasa gelisah dan sikap kritis ini rata-rata muncul pada umur 15 tahun, maka sikap kritis dan sikap melawan para mahasiswa ini mulai berkembang pada tahun tahun antara 1985-1993. Dalam periode inilah muncul konglomerat-konglomerat yang berkembang berkat koneksi politik mereka dengan presiden Soeharto dan penguasa-penguasa di sekitar Presiden Soeharto. Dalam periode ini pula putra-putri Soeharto mulai merajalela di dunia bisnis. Dalam periode ini timbul ketimpangan-ketimpangan yang sangat mencolok. Timbul kekecewaan dan keresahan sosial yang dipicu oleh kelakuan penguasa yang dirasakan tidak adil.

Para mahasiswa yang mayoritas berasal dari keluarga-keluarga menengah bawah ini pada umumnya merasakan langsung, betapa beratnya beban yang harus ditanggung orang tua mereka untuk membiayai studi mereka. Dengan latar belakang semacam ini kesewenang-wenangan dan ketidakadilan tadi mengganggu hati nurani mereka dan mendorong mereka untuk bertindak secara nyata. Lalu timbul tekad kolektif pada para pelopor Gerakan Reformasi tadi untuk mengakhiri segenap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Lahirlah gelombang demonstrasi yang mendapatkan dukungan masyarakat luas, yang terasa terwakili oleh para mahasiswa ini.

Kita lihat bahwa adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat antara angkatan pendobrak ini dengan kelompok-kelompok mahasiswa pendahulunya, "generasi-generasi" yang lebih tua dibesarkan dalam suasana yang relatif cukup bersih dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Periode 1970-1985 belum ditandai oleh ketimpangan sosial yang mencolok. Dalam periode ini "kue pembangunan" belum cukup besar untuk dijarah beramai-ramai. Jadi, para mahasiswa yang menjadi dewasa dalam tahun-tahun antara 1970-1985 tidak merasakan suasana yang menekan, yang mengusik hati nurani mereka. Meskipun diantara mereka ada yang mulai kecewa dengan jalannya pembangunan yang mulai menyimpang, tetapi kekecewaan itu tidak sempat berkembang menjadi tekad kolektif untuk meluruskan kembali jalannya pembangunan. Perlu dicatat dalam hubungan ini, Soeharto dalam tahun-tahun ini belum terlampau serakah dan arogan.

Kita lihat dari analisis ini, bahwa keadaan dan iklim masyarakat dan "semangat zaman" merupakan faktor yang penting bagi terciptanya perbedaan dalam sikap politik. Tetapi kenyataan ini tidak berarti bahwa pendidikan lalu menjadi faktor yang tidak penting bagi munculnya suatu generasi politik dengan budaya politik yang baru. Pendidikan mungkin tidak merupakan faktor yang penting bagi timbulnya perbedaan watak politik yang bersifat intra-generasional, tetapi pendidikan merupakan faktor yang bersifat menentukan bagi timbulnya perbedaan budaya politik yang bersifat intra-generasional.

C. PENUTUP

Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas mengenai gubungan natara pendidikan dan politik yang mempunyai pengaruh yang tak-langsung terhadap perilaku para politikus dan terbentuknya budaya politik. Pendidikan dasar yang baik, yang menghasilkan kemampuan intelektual yang memadai pda waktunya akan melahirkan budaya politik humanistic-patriotik. Sebaliknya, pendidikan dasar yang gagal memupuk intelektualitas, pada waktunya akan melahirkan budaya politik yang hedonistik-egoistik.

Dengan melihat kehidupan politik kita dewasa ini, pendidikan harus berbuat sesuatu untuk melahirkan budaya politik baru, budaya politik yang mendorong para pelaku politik kita untuk bertindak secara bersih, jujur, dan cerdas. Tentu saja budaya politik yang murni patriotik tidak akan pernah ada, selalu akan tetap ada unsure-unsur hedonistic dalam budaya politik yang "paling baik" sekalipun. Tetapi, persoalannya bukan mengembangkan budaya politik yang bersihdari cacat, melainkan mengurangi sejauh mungkin unsur-unsur hedonistik, dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik dalam budaya politik yang akan di bangun bangsa.

Pendidikan merupakan suatu wahana yang harus dipergunakan untuk melahirkan generasi politik yang baru yang akan membentuk budaya politik yang baru. Lahirnya generasi politik baru di masa depan, generasi politik yang lebih humanistik, lebih patriotik, lebih santun, lebih bersih, dan lebih cerdas daripada generasi politik yang ada sekarang ini hanya akan terjadi apabila kita berhasil meningkatkan mutu-mutu sekolah kita. Mampukah kita melaksanakan pembaruan pendidikan seperti ini? Ini bergantung kepada dua hal: kuat lemahnya keinginan kita untuk melahirkan budaya politik baru dan kuat lemahnya keyakinan kita bahwa pendidikan dapat berbuat sesuatu untuk melahirkan generasi politik yang akan mampu mengembangkan budaya politik baru tadi. Dan akhirnya mudah-mudahan makalah ini dapat merangsang pemikiran yang segar dalam masyarakat mengenai peranan pendidikan dalam membentuk masa depan bangsa yang lebih cerah.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Alatas, Syed Hussein. 1977, pemikiran dalam mengembangkan masyarakat. London Frank Cass
  2. Busrns, James McGregor. 1978. Kepemimpinan. Harper Torchbooks
  3. Carter, Stephen L. 1996. Integrity HarperPerennial.
  4. Coleman, James S. (Ed). 1965. Pendidikan dan Pengembangan Politik. Princenton University Press.
  5. Fukuyama, Francis. 1995. Kepercayaan. The Free Press.
  6. Lee Khoon Choy. 1999. Bangsa Rapuh: Krisis Indonesia. World Scientific
  7. Soerjanto, Poeswoardojo dan Frans M. Perera. 1994. Pendidikan Kebangsaan. Jakarta: Grasindo.

“PENYESALAN”


S

etiap manusia tak bisa tidak mempunyai salah dan dosa, memang kecenderungan itu selalu ada setiap saat, kapan pun dan dimana pun. Sering kita berbuat sesuatu perbuatan, baik disengaja ataupun tidak. Perbuatan kita pasti ada benar dan salahnya. Sesuatu yang memang sudah sunnatullah. Namun, yang perlu kita ingat dan ini penting untuk dicermati adalah ketika kita melakukan suatu perbuatan salah atau buruk. Kita jangan terjerumus terlalu jauh. Bila kita terjerumus terlalu dalam, nantinya sulit bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar. Maka Perlu ada introspeksi yang mendalam terkait perbuatan salah yang pernah kita lakukan. Apa yang salah pada diri kita? apa yang telah hilang dari nurani kita? Faktor apa yang membuat kita berbuat salah? Apa solusi yang tepat untuk terhindar dari perbuatan salah/dosa? Pertanyaan-pertanyaan ini yang perlu kita cari jawabannya.

Perbutan salah yang kita lakukan bisa terhadap diri sendiri, orang lain ataupun terhadap Allah SWT. Ketika kita berbuat salah terhadap diri sendiri, orang lain ataupun Tuhan maka perlu adanya kesadaran untuk berubah, berniat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama; meminta maaf ; dan beristighfar atau bertaubat sungguh-sungguh.

Semua itu adalah bentuk penyesalan kita, penyesalan atas perbuatan yang menodai hati nurani yang suci, bentuk independensi kita atas kekangan hawa nafsu yang cenderung untuk melakukan sesuatu yang salah, sesuatu kesenangan sesaat, dan sesuatu yang membuat noda hitam di hati nurani yang putih.

Yaa…Rabb, hanya kepada-Mu hamba memohon pertolongan. Ampuni kesalahan dan dosa yang sering hamba lakukan.

Yaa…Rabb lindungi hamba dari perbuatan-perbuatan dosa. Amien,,,,,,,