Thursday, August 2, 2012

Ngabuburit


Kulindungi dari politik dan kiai

Pada tiga baris pertama puisi, wilayah permasalahan sang “aku” berkisar dalam dimensi vertikal dan domestik (rumah tangga) yang privat. Baru pada baris terakhir ini, wilayah permasalahan sang “aku” beranjak pada dimensi sosiokultural. Kata politik dan kiai mewakili argumen ini.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. (id.wikipedia.org)



Dalam teori politik praktis, dikatakan bahwa selain politik tingkat tinggi yang melibatkan negara dan bangsa, pada dasarnya segala kegiatan manusia sehari-hari sekalipun melibatkan (strategi) politik. Jika kita ambil pemaknaan hakikat politik atau siyasah (Arab) yang sederhana ini, berarti pengaturan posisi perabot dalam rumah, aktivitas tawar-menawar di pasar, pendekatan seseorang pada orang yang ditaksir, hingga aktivitas di kantor, semua dilakukan dengan berpolitik (hubungan yang menguasai dan yang dikuasai).

Berbicara mengenai politik di dunia kerja, sudah menjadi rahasia umum jika di setiap kantor banyak aktor-aktor politik yang bertingkah-polah sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya masing-masing. Biasanya, ambisi adalah bahan bakar mereka.

Orang-orang yang buta tauhid, biasanya berpandangan, “Sulit kaya jika tidak korupsi” atau “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal.”  Oleh sebab itu, jalan menuju yang dicita-citakan harus dibersihkan dari segala penghalang.

Yang atasan berlindung di balik jabatannya dan menekan bawahan yang coba-coba sok idealis--dengan peraturan-peraturan yang dibuat agar seperti hukum negara--hanya untuk menyembunyikan pencurian harta negara yang dilakukannya. Pemimpin seperti ini jelas-jelas buta agama, terlebih buta tauhid. Mereka (mungkin) lupa bahwa menjadi pemimpin itu benar-benar tidak mudah karena pemimpin adalah teladan, memiliki kewenangan tanpa menjadi sewenang-wenang (Pemimpin dalam Islam, alhikmah.com). seorang pemimpin wajib memenuhi kriteria sebagaimana dicontohkan Nabi saw..

1. Siddiq: benar dalam niat, benar dalam perkataan, benar dalam berpikir (tidak licik) dan benar dalam perbuatan.

2. Amanah: tepercaya, jujur, menepat janji, dan bertanggung jawab

3. Fatonah:Mempunyai wawasan yang luas, berpikir maju mempunyai keterampilan yang baik dalam membaca potensi dan memotivasi orang-orang yang dipimpinnya.

4. Tablig: mampu berkomunikasi efektif, lebih banyak mendengarkan orang-orang yang dipimpinnya, bahasa komunikasinya bisa dimengerti oleh orang-orang yang dipimpinnya, mudah dihubungi dan juga mudah untuk dekat siapapun, bersikap . ramah, selalu menghormati orang-orang yang dipimpinnya, mempunyai pertimbanganyang bijak serta selalu bersahabat kepada setiap orang, selalu berusaha memahami keinginan orang-orang yang dipimpinnya serta mengetahui kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya.

Sedang hal yang harus dihindari oleh  seorang pemimpin adalah lisan yang tidak terjaga, terlalu banyak bergurau, sering berkata keras, kasar dan keji, sering mengobral janji yang tidak ditepati dan sering bersumpah palsu, berdusta atau terbukti berbohong, egois, sombong, tidak tahu etika, dan tidak adil.

Kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggung jawaban.

 Penguasa adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (hadis)

Yang bawahan lalu terpancing untuk berlomba meraih simpati atasan, mereka rela menjadi spesies manusia bermuka tebal demi memenuhi ambisi pribadi. Ada yang ingin potensinya diakui; ada yang juga mengharapkan kebagian rezeki atasan, ada yang demi lompatan karier. Lalu lingkungan kantor seluruhnya menjadi lingkungan hipokrit. Penghuni kantor saling bertegur sapa dengan senyum manis, sambil hati mereka saling menyikut, saling menangkis. Mereka tidak tahu bahwa Allah Memandang dengan pandangan tembus-menembus hingga ke hati. Jika mereka orang-orang bertauhid, mereka pasti ada malu kepada Allah dan dirinya sendiri, apalagi sampai melakukannya di bawah sorot tajam Pandangan-Nya.

Dalam dimensi politik pemikiran, kita melihat kebanyakan umat muslim telah terbius dengan kebijakan rasionalis-sekular Barat yang menjadi pemimpin peradaban masa kini. Prinsip Darwinisme bahwa kehidupan ini berawal dari sebuah kebetulan dan prinsip filsafat Descartes cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) adalah awal pemertuhanan akal dan penyingkiran wahyu Ilahi dari kehidupan. Berinduk dari kedua pemikiran sekular inilah manusia lalu menjunjung tinggi humanisme dengan HAM-nya, feminisme, materialisme, dan lain-lain.  Segala “kebaikan” -isme ini diterima begitu saja tanpa filter akidah hingga merasuk ke dalam kehidupan pribadi muslim tanpa disadari. 

Dengan alasan HAM, kita lalu enggan mengingatkan orang menzalimi dirinya sendiri. Padahal, setiap muslim wajib saling menasihati. Nabi juga bersabda, setiap mukmin itu cermin bagi mukmin lainnya. Misalnya dalam urusan pernikahan lintas agama yang beberapa waktu silam dilakukan kalangan selebritas. Mereka berpolitik, melakukan pernikahan di luar negeri agar terhindar dari kungkungan syariat. Ada juga pasangan yang “mengakali” Allah dengan menjadi mualaf aspal: asli dalam administrasi di KUA dan di hadapan manusia, tetapi palsu di hadapan Allah Swt..

Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan Allah.(Q.S.Al-Anfal:l59)



Dengan pikiran iman yang bodoh ini, mereka berpikir telah berhasil melarikan diri dari hukum Tuhan, bahkan dari Tuhan sendiri. Mereka lupa (atau tidak tahu) bahwa Allah meliputi segala sesuatu. Mereka juga tidak sadar telah melakukan pelecehan terhadap Ilmu Allah. Dalam pandangan mereka, Tuhan itu tidak mengerti manusia dan ke-manusia-an; tidak tahu bahwa cinta memiliki kekuatan mendobrak segala perbedaan. Tuhan tidak bijak karena menetapkan hukum syariat yang tidak sesuai dengan manusia dan kemanusiaan. Inilah akibat mengambil pedoman hidup tanpa kawalan akidah. Dan kehidupan rumah tangga orang-orang semacam ini dipandang Allah dengan pandangan murka hingga akhir zaman.



Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. (Q.S. Ali Imran: 149)



Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. An-Nahl 106)



Kata kiai muncul dalam akhir puisi ini tampaknya mengacu pada ulama-ulama yang tinggi ilmu keagamaannya, tetapi rendah dalam pemahaman keagamaan itu sendiri. Mereka taklain sekadar mengatakan kembali hal-hal yang dikatakan Allah dalam Alquran--seperti burung beo yang terlatih--tanpa menggiring umat pada pemahaman agama yang lebih lanjut; yang lebih dalam sehingga umat tergerak dan bergairah meningkatkan kualitas keberagamaannya serta kualitas pengenalannya pada Sang Pencipta.

Dalam kebanyakan khutbah, umat selalu diimbau untuk ikhlas, rida, zuhud, dan zikir. Akan tetapi, sang pengkhutbah tidak menunjukkan bagaimana pemahaman hakikat dan teknis melakukan ikhlas, rida, zuhud, dan zikir yang hakiki. Dari sisi tauhid, ulama-ulama seperti ini hanyalah kaset berjalan berisi rekaman ceramah dengan sekelumit dalil yang membuat umat bosan dan terkantuk-kantuk. Umat lalu beranggapan mempelajari agama itu membosankan, begitu-begitu saja. Paling-paling yang inovatif itu cara penyampaiannya saja. Tidak ada yang “baru” dalam Alquran. Alquran tertinggal oleh peradaban masa kini yang jauh lebih “maju”. Hubungan isi Alquran dengan internet saja, tampaknya sama sekali tidak ada. Umat lalu tergiring untuk menjalani agama dengan ala kadarnya; semakin jauh dari pemahaman akan diri dan Tuhannya. Secara tidak disadari, umat justru menjadi semakin asing akan dirinya sendiri dan Tuhan.

Ada juga golongan ulama yang menjadikan syiar Islam sebagai profesinya; mencari nafkah dari menceramahi umat dengan mengobral ayat dan menentukan tarif panggil.  Inilah golongan manusia yang disebut Allah sebagai orang-orang yang menjual agamanya dengan harga murah.



Yang paling aku takuti atas umatku adalah orang munafik yang pandai di lidah. (hadis)



“Aku melihat beberapa kaum, bibir mereka digunting dengan gunting. Maka aku bertanya,’Siapakah mereka?’ (Jibril) menjawab,”Ulama dari kalangan umatmu.” (hadis)



Sadarlah wahai para penceramah dan penulis, dirimu masih dipenuhi nafsu dan keinginanmu. Celaka kamu, jika kamu menentang orang khawash, kamu akan hancur dan kamu tidak akan sampai pada bagianmu. (Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)



Intinya, baris terakhir puisi ini mengisahkan penolakan sang “aku” terhadap hal-hal sedemikian. Hal-hal inilah yang melahirkan frasa kulindungi dari. Maksudnya, tentu saja menjaga agar hatinya tidak tercemar oleh hal-hal yang disebutkan di atas.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 1998. Tauhidullah. Diterjemahkan oleh Wasmukan. Surabaya: Risalah Gusti

An-Nafiri, Hasan. 2008. Melihat Allah. Diterjemahkan oleh Basymeleh, dkk. Surabaya: Bina Ilmu 

Jailani, Abdul Qadir. 2007. Menjadi Kekasih Allah. Diterjemahkan oleh M. Ahmad. Yogyakarta: Citra Media

Jerrahi, Mozafer Ozzak. 2006. Dekap Aku dalam Kasih Sayang-Mu. Diterjemahkan oleh Prihantoro. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

Nadjib, Emha Ainun. 1996. Cahaya Maha Cahaya. Jakarta: Pustaka Firdaus

Raniri, Nur Ad-Din. 2003. Rahasia Manusia Menyingkap Ruh Ilahi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Renard, John. 2006. Mencari Tuhan. Bandung: Mizan

W.M., Abdul Hadi. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Matahati.












Catatan Emha Ainun Nadjib (2)

Senin, 07 Februari 2011

reni