Tuesday, September 18, 2007

KAIDAH AGAMIS TENTANG PENILAIAN

Disusun Oleh:

Ridwan Munandar

(Mahasiswa KI-MP Semester VII A)

Proses penilaian merupakan suatu proses sistematik, dalam arti berkelanjutan, terencana, dan memiliki tujuan/sasaran yang jelas. Adapun tujuannya adalah mengetahui tingkat keberhasilan dan efisiensi suatu program.

Dengan evaluasi/penilaian, guru dapat mengetahui seberapa tinggi tingkat kompetensi atau kemampuan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran.

Dalam Agama Islam, sebenarnya terdapat beberapa kaidah/prinsip penilaian yang sangat berguna bagi tercapainya tujuan penilaian tersebut, seperti kaidah keadilan, kejujuran, tanggung jawab, konsistensi/istiqomah, sabar, tawakal, dan lain-lain.

Selanjutnya di bawah ini penulis akan menjelaskan beberapa kaidah/prinsip agamis mengenai penilaian dalam Al-Qur’an dan Hadits

· Kaidah adil

Dalam Al-Qur’an (Surat An-Nisa : 58) Allah SWT. Berfirman:

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah mMaha Mendengar Lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisa:58)

Dari ayat di atas secara tersurat dapat kita pahami bahwa bagi siapa saja yang mempunyai tugas untuk menyampaikan amanat dan menetapkan hukum kepada seseorang maka haruslah menetapkan dengan adil. Kemudian apabila dikorelasikan dengan penilaiaan, maka disini Tester (guru, instruktur, penguji) atau seseorang yang memiliki kelayakan memfasilitasi siswa dengan keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang relevan, yang memiliki kompetensi untuk menyampaikan amanat, dan menetapkan penilaian dengan “prinsip keadilan”, artinya ketika seorang tester melihat keberhasilan siswa, bukan dari individu siswa yang mengikuti pembelajaran itu sendiri, melainkan berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pembelajaran, manakala ia mampu memenuhi kriteria yang telah ditetapkan bersama.

· Kaidah jujur

Berusahalah untuk selalu jujur dalam perkataan dan perbuatan anda. Sebab shidq atau kejujuran merupakan jalan surga, sebagaimana sifat dusta akan menuntun pelakunya menuju neraka. Rasulullah SAW. bersabda:

Diterima dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda : “sesungguhnya shidq –jujur- itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga. Jika seseorang selalu jujur, maka ia akan dicatat sebagai seorang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan kedurhakan membawa ke neraka. Jika seseorang selalu berdusta, maka ia akan dicatat sebagai pendusta.”

Bagaimanapun dusta bukanlah akhlak seorang muslim untuk selamanya, sebab sifat dusta bertentangan secara diametral dengan keimanan. Begitu sifat dusta melekat, maka lepaslah keimanan seseorang. Sifat dusta merupakan sifat orang munafik.

Diterima dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda: “tanda orang munafik itu ada tiga, (1) jika berbicara suka dusta, (2) jika berjanji mengingkari, (3) jika diamanati suka khianat.” Menurut suatu riwayat “tanda orang munafik itu tiga –meskipun ia melakukan shaum, melakuan shalat, dan mengaku ia sebagai muslim- jika bicara selalu dusta, jika berjanji suka mengingkari, dan jika diamanati suka khianat.”

Alhasil, dusta hanyalah pantas menjadi sifat orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah SWT. Dalam kaitan dengan hal tersebut Allah berfirman:

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأُوْلـئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

“sesungguhnya yang (berani) berbuat dusta itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka adalah orang-orang yang pendusta.” (QS. Al-Nahl:105)

Dalam hadis dan ayat tersebut di atas, maka jelaslah bahwa jujur itu merupakan jalan bagi orang-orang yang menginginkan surga, dan dusta itu merupakan perbuatan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan merupakan jalan menuju neraka. Oleh karena itu, sifat jujur itu dalam kaitannya dengan penilaian, baik bagi guru maupun siswa harus merupakan suatu hal yang niscaya ada dalam setiap perkataan dan perbuatan. Sehingga kemudian dalam praksisnya guru menjadi percaya kepada siswa untuk mengerjakan soal/tugas secara jujur dan siswa pun sebaliknya percaya kepada guru atas penilaian yang diberikannya secara objektif. Artinya di antar guru dan murid terjalinnya hubungan saling percaya yang dimulai dari sifat jujur tersebut.

· Kaidah tanggung jawab

Dalam Al-Qur’an (Surat Al-A’raf:164) Allah SWT berfirman:

وَإِذَ قَالَتْ أُمَّةٌ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْماً اللّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَاباً شَدِيداً قَالُواْ مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“ Dan (ingatlah) ketika suatu kaum di antara mereka berkata: “mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? “ mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alas an (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-A’raf:164)

Dari ayat di atas dapat kita lihat bahwa tugas untuk menasehati/memberi pelajaran bagi sebagian orang yang memilki kompetensi dalam hal tersebut (guru, penceramah, intruktur) tidak melihat seberapa burukkah perilaku mereka. Sehingga Allah SWT. Misalkan saja akan membinasakan atau mengazab mereka. Tugas mereka hanya menasehati atau memberi pelajaran saja, karena itu adalah bentuk pelepas tanggung jawab mereka kepada Allah.


Pada ayat yang lain disebutkan bahwa :

“……..kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul sedikitpun teryhadap perbuatanmu…..”(QS. Ali Imran: 52)

Menurut kedua ayat tersebut, maka dapat kita pahami bahwa Allah SWT. Tidak menilai seseorang -yang mempunyai tugas- untuk menasehati atau memberi pengajaran dari hasil akhirnya. Dalam arti setiap perilaku/sikap bagaimanapun yang ditunjukkan oleh orang yang telah dinasehati, yang telah diberi pengajaran, Allah tidak menilainya sebagai kesalahan tester. Akan tetapi Allah menilai dari proses yang dilakukan oleh tester dalam memberikan pembelajarannya. Karena apapun yang mereka lakukan setelah dating nasehat maka itu adalah tanggung jawab individu itu sendiri.

· Kaidah konsisten/istiqomah

Allah SWT. Berfirman dalam Surat Yunus; 89

قَالَ قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلاَ تَتَّبِعَآنِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

“sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah (istiqomahlah) kamu berdua pada jalan yang lurus dan jangan sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yangtidak mengetahui.” (QS. Yunus: 89).

Pada ayat yang lain Allah berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Mha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 112).

Dari kedua ayat tersebut di atas, Allah SWT. Memerintahkan kepada kita untuk konsosten/istiqomah di jalan yang lurus, dijalan yang benar dan janganlah kita menjadi orang-orang yang melampaui batas. Sehingga apapun yang kita inginkan dan permohonkan, Insya Allah akan dikabulkan-Nya. Namun jangan sekali-kali mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui, karena bisa membuat kita tersesat.

Oleh karena itu, korelasinya dengan penilaian yang dilakukan guru adalah bahwa guru harus istiqomah dalam menjalankan tugasnya, baik dalam pembelajaran maupun kegiatan lainnya. Misalnya penilaian. Dalam arti guru harus istiqomah memberikan nilai kepada peserta didik tanpa adanya keraguan untuk memberikan penilaian seperti manipulasi data, unsure subjektivitas, dll. Dengan istiqomah, didasari atas data yang baik, hasil analisa kompetensi siswa sesuai dengan tingkat dan standar kualitas yang disepakati sebelumnya, juga musyawarah berdasarkan objektivitas penilaian siswa yang diperoleh selama belajar. Maka diantara guru dan siswa akan terciptanya hubungan yang harmonis, bebas dari prasangka, dan adanya sikap saling pecaya.


Selain kedua ayat tersebut yang menjelaskan tentang konsistensi/istiqomah, sebenarnya masih banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal itu, seperti (QS. 41 : 6), (QS. 42 : 15), (QS. 45 : 18), dan (QS. 46: 13).

Demikianlah penjelasan yang dapat penulis berikan mengenai “kaidah agamis tentang penilaian”. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis khususnya, juga bagi para pembaca umumnya

Terima Kasih……$

No comments: